Parenting butuh semacam lisensi

Monday, March 19, 2007

Ngobrol panjang dengan suami masalah maraknya ibu yang bunuh diri dengan mengajak anak-anaknya turut dan orang tua yang menghajar anaknya serta ditambah dengan kompleknya parenting, kami kemudian mengambil kesimpulan bahwa mungkin sudah saatnya kalau parenting butuh semacam lisensi, ijazah atau semacamnya.

Ketika kita menikah, hamil, melahirkan dan tiba-tiba menjadi seorang ibu dan menjadi seorang ayah, seolah-olah bahwa bahwa kita tiba-tiba saja sah mendidik anak-anak kita. Anak-anak kita tiba-tiba berada di bawah kekuasaan kita yang harus mengikuti kehendak kita bahkan untuk mati sekalipun.

Nyatanya parenting itu adalah masalah komplek. Orang bisa saja bilang bahwa dia berhak menentukan kehidupan anaknya karena dia orang tuanya dan punya kapasitas ilmu untuk itu. Di lapangan, apakah demikian?

Coba kita ke desa-desa, berapa banyak orang-orang yang menggendong bayi-bayi mereka sambil merokok? Berapa banyak pula yang membiarkan isteri-isteri yang sedang hamil bergumul dengan asap rokok yang diisapnya? Berapa banyak orang-orang yang masih menolak imunisasi bagi bayi? berapa banyak orang yang menolak untuk suntik untuk menjaga kandungan karena mengira itu usaha pemerintah untuk meng KB kan masyarakat?

Berapa banyak bayi yang tak mendapatkan ASI karena ketidak tahuan orang tuanya? berapa banyak bayi yamg sudah makan solid food sebelum waktunya? Berapa banyak orang tua yang suka memaki-maki anaknya dengan kata-kata yang justru membuat mereka down tak karuan? Berapa banyak orang tua yang menghajar anak-anak mereka sendiri?Berapa banyak anak-anak yang meninggal karena penanganan medsinya membahayakan?

Sekali kita punya anak, seolah-olah kita adalah Tuhan bagi anak-anak kita sendiri sementara ilmu yang dibutuhkan belumlah mencukupi.

maka sudah saatnya KUA/ catatan Sipil/Gereja/ lembaga perkawinan sebagai lembaga yang hendak meresmikan pernikahan anatar dua manusia hendaknya mengadakan semacam kursus atau pnataran tentang parenting dengan serius dan bukan hanya sekedar formalitas tetapi betul-betul memberi bekal kepada calon-calon orang tua. Kalu perlu dikeluarkan semacam lisensi parenting bagi mereka yang sudah lulus penataran ini.

Bijimana?

Labels:

Bencana Bagi Pendosa

Sunday, March 11, 2007

Indonesia tanah airku, kondisinya sangat mengenaskan. Baru saja saya posting tentang parahnya transportasi dan hilangnya rasa aman, tiba-tiba saja dikagetkan dengan terbakarnya garuda.

Dari bencana tsunami, gempa bumi, tanah longsor, banjir, Lapindo, puting beliung, dan kecelakaan transportasi menimpa bertubi-tubi. Kondisi orang-orang yang mendengarkan bisa sangat beragam.

Ada yang mengelus dada, ada yang istighfar, ada yang menyingsingkan lengan buat membantu para korban dan ada yang menyalahkan kondisi masyarakat, yang katanya bergumul dengan dosa sehingga pantas untuk ditimpakan bencana karena Tuhan Murka.

Alih-alih memberikan solusi, malah menyakiti perasaan para korban dengan mengatakan bergelimang dosa. Ibaratnya sudah jatuh ,eh masih ditimpa tangga pula. Sudah tertimpa bencana, kehilangan keluarga, handai tolan dan harta benda, eh masih dibilang berlumuran dosa.


Menurut saya, hal seperti ini kurang sensitif.

Saya percaya kekuatan Tuhan. Saya juga orang beragama yang mengembalikan segalanya kepada Tuhan dan berlindung di balik hikmahNYA tetapi mari menganalisa bencana dengan bijaksana.

Konon letak geografis Indonesia menyebabkannya menjadi rentan terhadap bencana. Kenapa tidak memikirkan untuk mepelajari bagaimana menghadapi bencana dan disosialisasikan kepada masyarakat seperti yang dilakukan Jepang?

Sistem transportasi yang amuradul, kenapa tidak dibenahi dengan mengawasi secara ketat pesawat/kapal/kereta bahkan bis yang layak operasi?

Dan kepada para korban bencana, mari kita berbuat sesuatu sesuai kemampuan masing-masing. Yang kaya sumbangkan uang. Yang ahli, sumbangkan pemikiran, yang punya kemampuan berorganisasi, adakan penggalangan dana buat pembenahan. Dan tentu saja berdoa buat keselamatan bersama.

Ketika semuanya sudah dijalankan, maka serahkan semuanya kepada Tuhan. jadi bukan sebaliknya, mengutuk kebejatan dan mengkaitkan kemarahan Tuhan lewat bencana tanpa berbuat apa-apa. Urusan suatu kaum bergelimang dengan dosa ataukah tidak , Tuhanlah yang berhak menentukannya.

Bagaimana kalau suatu saat, anda sendiri yang mengalaminya? Ditimpa bencana dan dihujat secara bersamaan? tentu tak mengenakkan.

Introspeksi baik yang bersifat vertikal kepada Tuhan maupun yang bersifat Horisontal - berupa hubungan kemanusiaan - sistem- perlakuan dengan alam, Ikhtiar baik berupa usaha perbaikan maupun berdoa dan tawakkal -pasrah, menurut saya sangat bijaksana dilakukan daripada berkata hal-hal yang menambah hidup semakin nelangsa.

Mungkin sudah saatnya para pemuka agama memberikan tuntunan kepada masyarakat agar bisa menyampaikan dakwahnya dengan cara yang bijak dan tak membuat dada sesak.

Labels:

Sok Tahu!

Thursday, March 01, 2007

Melihat Indonesia dari jauh, saya merasa tersentuh.
Kadang salah tingkah dan serba salah
Bagaimana nantinya masa depan anak-anak bangsa?
Semuanya membikin nelangsa.

Mau bebergian repot jadinya.
rasa aman, hanya impian belaka.

Mau naik pesawat? Takut hilang begitu saja.
Mau naik kapal? takut tenggelam
Mau naik kereta? Takut amblas di tengah jalan
Mau naik bis? takut tabrakan dan macet di jalan
mau naik taxi? ah, banyak perampokan
mau naik ojek, jalannya ngebut tak karuan sampai kaki mau keserempetan
mau naik becak? wah katanya becak nyaris hilang dari peredaran
Mau anik sepeda? nyampenya kapan dan kacau juga kalau harus balapan sama motor dan mobil dijalanan yang penuh asap mematikan.
mau naik mobil sendiri? takut dijalan dicegat preman resmi maupun jalanan.

Mau tinggal dirumah? Takut kejatuhan rumah karena gempa
atau dihantam Tsunami tiba-tiba
atau terkurung banjir air atau lumpur
belum lagi ancaman ledakan gunung.

belum lagi bahaya penyakit diare, demam berdarah hingga flu burung
semuanya membikin serba salah.

Orang kaya masih bisa bergerak dengan segelintir pilihan. Orang miskin hanya bisa tertawa-tawa karena kehilangan harapan.

Semenetara pejabat melihatnya sebagai seribu harapan buat mengelak dari tanggung jawab.

Nah, pernah merasa sok tahu dengan menafsirkan sesuatu?

Saya pernah.

Ketika pertama kali kuliah, saya susah sekali untuk mendapatkan tanda tangan pembimbing akademik saya untuk urusan tanda tangan pengambilan mata kuliah.

Dosennya tak pernah ada di kantor sampai ada kakak kelas berkata bahwa pak dosen tersebut sedang bulan madu karena penganten baru.

Mendengar itu, sayapun menyebarkan berita tersebut kepada temen-temen seangkatan saya. Semuanya mahasiswa baru. Ada seorang mahasiswi baru yang mukanya langsung jutek tak karuan mendengar ceritasaya itu. Dan bertanya ini itu. Karena sebel, saya jawab sambil tertawa-tawa, "lha elu kok kliatan sewot? kayak isteri yang baru dimadu aja" kontan temenku itu terdiam.

Beberapa hari kemudian, pak dosen pembimbing saya yang ternyata masih muda dan ganteng itu ada di kantor dosen. ketika tiba giliran saya minta tanda tangan, dia langsung hapal nama saya dan berkata, " Wah! tau darimana kalau saya sedang bulan madu?"
"Dari kakak kelas Pak. Selamat ya Pak?" Kata saya mantap
"Terimakasih. Tapi besok-besok kalau ada berita beginian, jangan ikutan menyebarkan ya. Belum tentu bener," katanya sambil memberi saya permen dan memeberi tanda supaya mahasiswa yang antri di belakang saya untuk maju ke meja dia.

Saya tertegun tetapi tak memikirkan lagi perkataannya lebih jauh.

Beberapa hari kemudian, saya dapat undangan pernikahan dari temen perempuan saya yang cantik dan pernah jutek karena mendengar Pak dosen pembimbing saya sedang bulan madu.

Setelah saya buka undangannya, ada nama mahasiswi itu sebagai pengantin perempuannya dan nama calon mempelai prianya adalah, Dosen pembimbing saya saya yang ganteng itu!

Aapa hubungan kedua cerita di atas? ya, dihubung2kan saja sendiri hehe

*oh ya saya akhirnya mengisi Multiply saya buat arsip-arsip tulisan yg berceceran biar mudah kalau mencarinya.

© 2004 - 2006 Serambi Rumah Kita. Design & Template by Anita.