Tuesday, November 23, 2004

Salam Tempel itu Masih Menjadi Budaya

Adalah benar adanya bahwa negeri ini sedang sekarat
tubuhnya kian kurus di gerogoti setan dan tikus jalanan
Di kantor-kantor, ada drakula mengatas namakan birokrasi
Di jalan-jalan ada ular berdalih peraturan

Penduduknya menjadi ketakutan dan serba salah
takut kaya karena khawatir di palak para preman
takut miskin karena khawatir tak bisa makan tujuh turunan

maka jadilah setan-setan bergentayangan di sudut negeri yang konon bijak bestari


Saya sangat panik ketika mendapati sebuah dokumen penting saya lenyap di sebuah lembaga pemerintah. saya sudah membayar sejumlah uang tertentu tetapi ternyata hal itu belum cukup. Di instansi ini ternyata uang saja tidak cukup tetapi ternyata butuh 'dampingan' kita untuk membujuk para petugasnya untuk mengetik, mengantar surat ke meja-meja berikutnya.

Pikiran saya penat ditambah keharusan untuk bisa berbasa -basi dengan para pegawainya. saya menjadi seperti orang bodoh yang dibikin bodoh berhadapan dengan birokrasi. Seorang bapak-bapak, sebut saja Tumin, pegawai instansi itu terus saja menceramahi saya tentang persyaratan yang harus saya penuhi, yang kadang-kadang tidak masuk akal sama sekali. Misalnya, dia meminta surat hitam diatas putih yang menyatakan bahwa saya akan selesai studi saya di luar negeri pada tahun 2006 dari pihak sponsor, yang jelas2 sudah ada surat yang menyatakan hal yang sama dari seorang petinggi di Indonesia.

Saya tatap wajahnya yang nampak menyeringai seolah-olah puas melihat wajah saya yang sengaja saya bikin memelas. Satu hari, dua hari saya masih bisa berbasa-basi dengan 'bapak' yang mengaku calon doktor dari sebuah universitas negeri ini. Tetapi ternyata basa-basi saya hanya sanggup bertahan dua hari saja. dan pada hari ketiga saya tidak bisa menyembunyikan muka kesal saya dan kata-kata pedas dan cuek sayapun mulai bermunculan ketika dia meminta uang "untuk mempermudah urusan" dengan tambahan kata2 "di Canada anda diam saja, semuanya akan beres. disini lain mbak, semuanya harus pakai uang untuk bisa menjalankannya kecuali nanti kalau anda sudah pulang, menjadi pejabat dan bisa merubah keadaan". saya tertawa kecil dan dengan gaya bercanda berkata "kalao saya jadi pejabat, saya akan pecat anda!" serta mengikuti langkah seorang bawahan dia untuk menuju instansi berikutnya tanpa memperdulikan ekspresi wajah pak Tumin yang sangat susah digambarkan.

Uang "alat" itu sudah saya siapkan. tetapi tak juga saya serahkan ke staf bapak tadi. Saya ikut membonceng vespanya menuju ke instansi berikutnya. Benar ternyata. tiap ketemu meja administrasi saya harus melakukan salam tempel. Begitu juga dengan instansi berikutnya. sampai ketika dokumen saya sudah beres, saya berikan uang khusus buat pegawai yang mengantar saya ke instansi-instansi yang saya kunjungi.

Sebenarnya urusan birokrasi di Indonesia akan mudah saja diatur jika 'blak-blak' an saja memasang counter "jalur cepat" dan "jalur lambat". Tetapi yang terjadi tidaklah demikian. para pegawai tsb mempersulit peraturan dengan kata2 yang tak masuk akal supaya kita mengeluarkan uang tambahan. Dan seolah-olah bersemboyan "kalau ada yang sulit, kenapa di permudah?"

Ketika saya meninggalkan ruangan birokrasi itu, lamat-lamat saya mendengar bapak 'Tumin' sedang menasehati para calon mahasiswa yang akan keluar negeri dengan bijaknya, penuh dengan rambu-rambu moral seolah dia orang paling suci se dunia.

Sementara dalam perjalanan saya pulang kampung, Sopir travel yang mengantarkan saya harus berhenti berkali-kali menyorongkan duit seribuan untuk orang-orang yang muncul diantara gelapnya malam dan kelokan-kelokan jalan.

Dan sopir travelpun berbisik " habis, daerah ini jauh dari rumah pak SBY sih".

© 2004 - 2006 Serambi Rumah Kita. Design & Template by Anita.