Guru oh Guru

Tuesday, April 18, 2006

Ketika lulus Sd, saya pernah merengek kepada ibu saya agar diperbolehkan masuk SMP negeri favorit di kota kami. Tetapi ibu saya bersikeras mengatakan bahwa saya harus masuk madrasah tsanawiyah. Padahal saya sudah lolos tes masuk SMP negeri favorit tersebut. Ibu saya bilang, kalau sudah SMA baru boleh ke SMA Negeri.

Begitu lulus Madrasah Tsanawiyah, saya langsung mendaftar SMA favorit di kota kami. Diterima. Lagi-lagi ibu saya menghalangi keinginan saya. saya sempat kecewa dan menangis meraung-raung. Cita-cita saya kan jadi dosen dan berangkat ke luar negeri seperti Ami Achmad hinduan, mana mungkin bisa tercapai kalau saya masuk PGA *pikir saya waktu itu sambil memandangi buku Album kenangan yang ada tulisan cita2nya* toh kalau urusan agama saya sudah punya dasar yang kuat karena toh dari lahir, TK hingga SMP saya sudah didik dan sekolah di sekolah-sekolah agama. Tetapi ketika ibu mengemukakan alasannya, hati saya jadi trenyuh tak karuan.

"Ibah, ibu hanya seorang guru PNS dengan golongan 2 B. Kalau kau melanjutkan ke SMA negeri berti harus melanjutkan ke perguruan tinggi untuk mendapatkan keahlian tertentu dan bisa bekerja agar mandiri. Ibu takut nanti ibu tak punya biaya untuk membiayaimu. nah kalau kamu masuk PGA dan ibu tak punya biaya sehingga kamu gak bisa kuliah, kau bisa menjadi guru agama begitu selesai sekolah dan kalaupun kau tak bekerja sebagai guru, setidak-tidaknya kau punya sedikit ilmu untuk mendidik anak-anakmu."

Akhirnya saya memang sekolah di PGA walaupun akhirnya saya tetap melanjutkan kuliah dengan biaya orang tua di support beberapa beasiswa seperti Djarum dan supersemar.Dan memang terbukti walau saya anak madrasah dan PGA saya bisa sampai Luar negeri juga.

Ya, akhirnya memang saya jadi guru juga menyusul kedua kakak saya yang sudah menjadi guru. Orang bilang keluarga saya keluarga guru. Ibu saya guru yang mengajar diberbagai tempat. Ayah saya pernah menjadi guru. Kedua kakak saya juga guru.

Saya pernah menjadi guru Tk yang mengajar mengaji sekaligus mengurusi kalau ada yang kecelakaan karena pipis atau pup. Saya pernah juga merasakan menjadi guru SD yang harus pintar-pintar menarik perhatian. Saya juga pernah mengajar anak smp dan sma yang membuat saya juga harus pintar-pintar mengambil hati mereka. Saya juga pernah mengajar mahasiswa yang mebuat saya lebih sering menempatkan diri sebagai teman dari pada seorng dosen.bahkan beberapa mahasiswa saya memanggil saya mami bahkan mbak.Dan saya sering juga mbonceng mahasiswi2 saya dengan gaya preman.

Benar kata ibu saya. menjadi seorang guru ternyata menyenangkan. Tiap kali mengajar selalu saja mengalami keadaan yang berbeda sehingga tidak membosankan. Masing-masing siswa juga mempunyai kepribadian yang unik sehingga selalu saja ada yang menarik. ketika mereka sudah lulus dan menyapa kita, tak dapat dipungkiri ada kebangaan tersendiri. Apalagi kalau mereka terlihat betah dengan pekerjaannya.

Dan ketika kenal dengan internet saya mendapat email dari beberapa mantan murid saya. meskipun terkadang saya harus mengingat angkatan berapa, tetap saja berkomunikasi dengan mereka sangat menyenangkan.

Inilah beberapa email mereka:

"Assalamualaikum,
Saya menemukan email ibu dari website setelah menyusuri cyber sastra net. Tetapi saya tak yakin apakah benar ibu adalah guru saya? Saya dulu di Yogya mempunyai seorang guru, ibu Labibah namanya. Apakah ibu adalah Ibu Labibah yang saya maksud? Bu Labibah, sayah kangen."



" Wah dikantor saya jadi kaku, bu, Boss saya dikantor orangnya serius bu. tak bisa diajak edan-edanan seperti ibu."

"bu labib, saya dan kawan-kawan punya ide gila bu. tapi jangan bicara dengan bapak-bapak dan ibu2 dosen yang lain dulu ya. Yang tau cuman bu Labibah karena kami tau cuman Bu labib saja yang bisa diajak berpikir gila2an."

"hallo mamiiiii, apa kabar mih? kalau ada lowongan pekerjaan, tolong saya dikabari ya miii"

ah, ah ternyata benar kata ibu saya menjadi guru sangat menyenangkan. Apalgi kalau murid2 masih mengingat kita. Dan ibu saya, sampai menjelang ajalpun, tetap di kerumuni oleh murid-murid tercintanya. Maka wajarlah. salah satu point yang mendapatkan amal jariyah, amal yang tak terputus ketika kita meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat.

Ibu saya seorang guru. Abah saya pernah menjadi guru, kakak-kaka saya juga guru. Mereka semua dipanggil ustadz dan Ustadzah. Saya juga seorang guru. Suami saya dulu pernah menjadi guru. Akankah Yasa, Danial dan Zirak jadi guru juga?

Semoga dimasa datang, kesejahteraan guru semakin cerah sehingga tak ada ungkapan seperti yang di ucapkan mahasiswa saya ketika berkunjung ke kontrakan rumah saya,

" Wah bu, rumah ibu kok begini. Saya gak pernah membayangkan rumah ibu begini.

Tetapi tentunya nasib saya lebih baik karena saya masih bisa mbonceng motor suami saya. Sementara guru sd saya masih tetap memakai sepeda onta. Disana. Di sebuah Kota...

*Renungan gonjang-ganjing kenaikan tunjangan tenaga pengajar dan semacam keprihatinan kalau ada guru yang masih harus mroyek (ngajar dimana-mana, ngelesi ini dan itu kerja kesana kemari bahkan ngojek untuk memenuhi kebutuhan hidup) ah dilema! --Mroyek disalahkan karena menjadi tak profesional --tak nggarap proyek lain, keluarga tak bisa makan*

© 2004 - 2006 Serambi Rumah Kita. Design & Template by Anita.